Jumat, 19 November 2010

Pemuka Agama (Red.:Ustadz)

Actor: pemuka agama. Secara sosial, mereka dituntut memiliki beberapa karakteristik seperti bijaksana, membela agama mereka, lebih jarang berbuat dosa, lebih sering membaca kitab suci, dan lebih dekat ke Penciptanya (semuanya ini dibandingkan dengan umat pada umumnya). Dapat disimpulkan bahwa mereka dituntut lebih “suci” daripada umat lainnya.

Action: pada umumnya, pemuka agama memiliki beberapa kegiatan rutin, seperti memimpin ritual agama dan memberi wejangan-wejangan bijak. Ada kalanya juga, pemuka agama menjadi simbol atau wakil dari agama dalam pertemuan tertentu, misalnya mengikuti ritual-ritual kecil yang dilakukan umatnya (pemberkatan rumah, slametan/tumpengan, dst). Selain itu, terkadang pemuka agama juga memimpin upacara pengusiran setan (exorcism) atau pengusiran hantu (?).

[More:]

Instrumen: instrumen yang diperlukan sangat beragam, tergantung agama masing-masing. Ada agama tertentu yang memerlukan banyak sekali instrumen dalam melaksanakan ritual agama, namun ada juga yang hanya memerlukan “seragam” tertentu untuk melaksanakan ritualnya.

Scene: konteks situasi yang dihadapi oleh para pemuka agama dapat dilihat dari kegiatan yang mereka jalani. Pada umumnya mereka berada di dalam konteks ritual formal seperti dalam perayaan agama. Pada saat ini, lingkungan sosial di sekitarnya memiliki harapan/ ekspektansi bahwa pemuka agama akan beribadah dengan baik. Dapat dikatakan bahwa pada konteks ini, para pemuka agama memiliki semacam tekanan sosial (social pressure) yang sedikit banyak memaksa mereka untuk tambil se-alim mungkin. Ada kalanya juga mereka diminta bergabung dengan umat biasa dalam perayaan-perayaan yang tidak selalu berbau agama (termasuk pesta ulang tahun, dst). Pada situasi seperti ini, tekanan sosial untuk menjaga image “suci” mereka berkurang, namun bukan berarti tekanan itu menghilang. Pada kegiatan lain seperti pengusiran setan/ hantu/ roh jahat lain, para pemuka agama dituntut memiliki “kekuatan” lebih dari umat biasa untuk melakukan ritual ini.

Dapat dikatakan bahwa pada umumnya mereka selalu menemui tekanan sosial untuk ja-im walaupun kadar tekanannya berbeda dari situasi ke situasi.

Intention: secara umum, seluruh kegiatan mereka memiliki tujuan mendekatkan umat pada Penciptanya, yaitu dengan menjalankan ajaran-Nya dan menjauhi larangan-Nya (tentu hal ini bervariasi, tergantung agama masing-masing). Tujuan ini terutama dilakukan di dalam ritual-ritual keagamaan.

Problem umum: masalah yang umum mereka hadapi adalah ketidakmampuan menjalani harapan masyarakat. Masyarakat terkadang memiliki harapan yang terlalu tinggi pada para pemuka agama. Pemuka agama terkadang dianggap memiliki status yang “lebih tinggi” dari manusia biasa. Tentu saja hal ini merupakan sebuah kekeliruan karena pemuka agam tetap seorang manusia yang rentan berbuat salah. Misalnya, ada pemuka agama yang tidak diberbolehkan menikah (kawin), namun karena dia juga manusia, tentu ketertarikan antar lawan jenis tetap ada. Ada juga pemuka agama yang diolok-olok karena menikah lagi walaupun masih memiliki istri yang pertama (padahal agama tersebut memperbolehkan poligami). Ada juga pemuka agama yang seharusnya meninggalkan materi keduniawian, tetapi dia memiliki kekayaan yang luar biasa besar. Dst dst dst. Intinya, pemuka agama terkadang menemui tekanan sosial yang terlalu berat. Umat terkadang memiliki arapan yang tidak mungkin terhadap para pemuka agama mereka. Masalah lain yang mungkin muncul adalah tidak semua pemuka agama memiliki tujuan yang mulia. Ada juga yang menjadi pemuka agama hanya untuk kepentingan pribadi, misalnya sekedar mencari perhatian, dst.

Analisa arketip (archetypes)

Menurut Pearson (dalam www.herowithin.com/arch101.html), arketip terbagi menjadi dua dimensi, yaitu fokus atau motivasinya dan tahapnya (stage). Pada dimensi pertama, magician dikatakan memiliki fokus berupa hasil (result), termotivasi untuk sebuah pencapaian (mastery), dan memiliki keinginan dasar untuk memberikan dampak tertentu pada lingkungannya. Pada dimensi lain, magician terletak pada tahap yang ketiga, yaitu Return (Restabilization Archetypes). Orang-orang pada arketip tahap ini sudah menyadari bahwa mereka sudah sampai pada tahap yang “lebih” dari sebelumnya dan mereka ingin menggunakan pemahaman dan perspektif ini untuk mengadakan perubahan pada lingkungannya. Magician kemudian dijelaskan sebagai arketip yang mencari hukum fundamental dari sesuatu (umumnya metafisika) untuk mengubah linkungannya dan menjadikan sebuah visi menjadi kenyataan. Seorang penulis (dalam www.rumahbelajarpsikologi.com) juga menjelaskan bahwa mereka memiliki karisma dan terlihat tenang.

Para pemuka agama ini saya golongkan ke dalam arketip magician karena mereka

(1) memiliki kepercayaan yang kuat terhadap penjelasan metafisika, yaitu ajaran agama, misalnya dengan membantu umat menyelesaikan masalah dengan mengadakan ritual keagamaan, percaya pada campur tangan Ilahi pada semua kejadian, dst;

(2) memiliki keinginan untuk mengubah lingkungannya sesuai dengan tujuan mereka, yaitu >>menjadikan semua umat taat pada ajaran agama;

>>membantu umat memahami dan menerima kejadian sehari-hari dengan kacamata agama (Tuhan /iblis/setan/hantu, karma/kualat, dosa/pahala, surga/neraka, dst).

Dengan pemikiran dan berbuatan mereka, yang sangat dilandaskan pada ajaran agama, tidak jarang bila mereka memiliki semacam “karisma” (atau “penampilan suci”). Ke”suci”an inilah yang kemudian dijadikan standar bagi umat untuk menilai pemuka agama itu sendiri.

Arketip ini memiliki beberapa shadow atau sisi gelap. Seperti yang diungkapkan oleh Pearson (dalam www.herowithin.com/arch101.html), magician memiliki kemampuan untuk menciptakan kekuasaan (power). Pada pemuka agama, tentu mereka memiliki kemampuan untuk “mengendalikan” umatnya karena umat menganggap “ajaran” mereka sebagai sesuatu yang benar (sesuai ajaran-Nya). Bila kemampuan ini disalahgunakan, maka hal-hal buruk pun dapat terjadi. Misalnya, ada beberapa pemuka agama yang mengajarkan bahwa mati untuk agama akan membawa seseorang langsung menuju surga, ada juga yang mengajarkan untuk menjelek-jelekkan atau menyerang agama lain, dst. Selain itu, umat agama yang dapat dikendalikan juga dapat dijadikan kekuatan untuk permainan politik (ujung-ujungnya duit). Intinya, pemuka agama yang tidak tahan dengan godaan untuk menyalahgunakan “kekuasaan” mereka dapat mengakibatkan hal-hal buruk.

Sumber:

Pearson, Carol S. dalam http://www.herowithin.com/arch101.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerinduanku

Kerinduanku
SYAIKHUNA AL KIROM