Ketika sedang melamun-lamun sendirian, tiba-tiba saya teringat kepada sebuah pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak boleh diingat-ingat, apalagi dipertanyakan. Untung saja saya bisa berapologi kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak sedang mengingat-ingat, hanya teringat. Dan tentu saja tidak ada seorang manusia pun, seberapapun tingginya tingkat ketololannya, yang tega menghukum dirinya sendiri karena sebuah ketidak sengajaan yang tidak di sengajanya. Untuk lebih menasuhakan taubat saya, maka saya akan menjelenterehkan ketidaksengajaan ini kepada sampeyan semua, sekedar buat bukti bahwa ingat-ingat saya ini benar-benar tidak sengaja.
Pertanyaan ini sebenarnya adalah akal-akalan anak SD, entah kenapa akal-akalan SD ini masih menempel di benak saya kini. Anda tentunya penasaran, sekalipun tidak amat-amat, maka saya sebaiknya tidak membuat kegemesan anda lebih memuncak. Supaya dosa saya tidak bertambah-tambah.
Siapakah founding father of Tahlil, atau siapakah bapak perumus dari pada Tahlil ?
Silahkan buka kamus pintar dari penerbit manapun, dan saya akan berikan sarapan pagi saya kepada siapapun yang beruntung menemukannya.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa tahlil itu sebuah budaya, tapi saya harus mengakui bahwa tidak ada ritual yang lebih membudaya dari tahlil. Atau kalau toh tidak mau dibilang paling membudaya, setidaknya ia pasti masuk ke dalam "10 top ritual paling popular" di tanah Indonesia. Terutama bagi kita yang pernah ngendon di jawa dwipa, dan terlebih lagi bagi kita-kita yang masih berbau kendeso-ndesoan.
Karena tidak ada buku yang bisa saya jadikan maraji’ al-mu'tabaroh, maka saya terpaksa mengambil "kama qala"mbah-mbah saya sebagai referensi. Semoga anda semua sudi untuk tidak mendebat saya dalam hal ini.
Katanya yang empunya cerita, tahlil itu adalah gubahan dari si jenius Lokajaya, atau lebih ngetrend dengan gelar sunan Kalijaga, sebagai salah satu formula canggihnya untuk menghilangkan semangat "hinduisme" dari masyarakat dengan tanpa menarik paksa masyarakat itu dari kultur yang diciptakannya sendiri. Sayang, bahwa teks asli tahlil Lokajaya itu sampai sekarang belum ditemukan oleh pegawai museum nasional. Ya….kita maklum sajalah, lha wong ngurusi yang sudah ada saja belum jegos kok neko-neko mau nyari yang masih berserakan.
Ketika menggubah tahlil, mungkin Lokajaya sendiri tidak menyangka bahwa formulanya ini akan bertahan sampai ratusan tahun. Bahkan mungkin lebih. Tapi yang menarik bukan itu, melainkan simbol yang dibuat lokajaya dalam susunan tahlil itulah yang bikin saya tergeli-geli kagum kepada beliau. Beliau ini orangnya memang kocak, gemar akan symbol-simbol, dan lebih terutama lagi suka akan orang-orang pinggiran dan yang terpinggirkan.
Coba saja, ketika terjadi pemancungan akbar atas diri Syeh Siti Jenar dan pemusnahan terhadap paham "manunggaling kawula gusti" –hal yang membuat saya berfikir bahwa musnah memusnahkan itu memang sudah menjadi budaya yang "apa boleh buat" bagi jagad kemanusiaan kita"- Sunan Kalijaga terang-terangan ditunjuk sebagai penasehat hukum dalam persidangan para sunan. Tetapi ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Karebet dan Arya Penangsang, beliau malah terang-terangan memihak, bahkan –dalam satu versi cerita- memberikan keris pusakanya sehingga memungkinkan putra Tingkir itu untuk menduduki tahta, mengalahkan Arya Penangsang, dan akhirnya memaklumkan "manunggaling kawula gusti" sebagai paham resmi kerajaan. Kenapa? Lho kok kenapa, ya jelas-jelas karena Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya itu adalah putra dari Ki Ageng Pengging, yang merupakan murid dari Syeh Siti Jenar. Terus kenapa sang Sunan malah mendukungnya menjadi Raja, kalau jelas-jelas dia adalah bibit dari sebuah sekte sesat?
Entahlah, Lokajaya selalu cuek dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Persis seperti ketidak ambil pusingannya ketika ia ditanya, kenapa ia sengaja menyebarkan isu bahwa ia pernah menunggui tongkat kanjeng Bonang selama beberapa tahun di lereng sungai, atau kenapa ia membuat tiang tatal di Masjid Demak, kok nggak kayu glondongan saja, atau juga apa yang dimaksudkannya ketika menyusun tahlil, kenapa kok dinamakan tahlil, atau kenapa harus tahlil, kok nggak shodaqoh saja yang jelas-jelas ada nashnya, atau malah pelepah korma hijau yang nashnya lebih gamblang.
Terhadap pertanyaan-pertanya an seperti ini, Lokajaya selalu hanya menjawab dengan tersenyum unik, senyum yang mirip dengan senyum Monalissa. Senyum nakal yang tersungging di mulut sang suami ketika melihat isterinya merajuk minta gula-gula. Senyum yang bisa membuat gemas orang se-kota. Tapi juga senyum yang selalu memotivasi anak cucunya untuk terus berfikir dan menebak-nebak. Maka dengan apa boleh buat saya pun terpaksa juga menggunakan metode tebak-tebakan ini.
Tahlil dibuat dalam format yang begitu menakjubkan. Setidaknya ada beberapa fokus yang membuat saya mau tidak mau tersenyum-senyum.
Pertama, tahlil biasanya dimulai dengan "ila hadrati" disambung dengan bacaan al-Quran. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah pahala dari sebuah bacaan bisa ditransfer dari orang hidup kepada yang sudah meninggal. Golongan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan sampai, bersandar pada hadits pelepah korma. Sedangkan Imam Syafii dan yang sependapat mengatakan tidak sampai. Disinilah uniknya. Terang-terangan sunan Kalijaga itu tahu kalau mayoritas rakyat jawa itu bermadzhab Syafi’i, tapi kok malah diberikan ritual yang berbau-bau hanafi dan hanbali. Apa ini bukan namanya menjungkirbalikkan tatanan yang ada, mencampurbaurkan pakem yang sudah tertata?
Apa sang Sunan belum membaca tentang kaidah Talfiq? Atau malah mungkin kaidah talfiq itu belum ada pada zaman sang Sunan?
Kedua, tahlil itu pada aslinya adalah ucapan, "Lailaha illallah". Sebuah pengakuan yang paling dasar dan paling agung terhadap kesadaran tertinggi akan eksistensi kita sebagai makhluk yang punya cikal bakal, punya sandaran, dan bukan hasil dari dolan-dolanan maupun kebetulan. Ini jelas ditujukan kepada orang hidup. Karena orang mati mana yang punya kesadaran dan bisa disadarkan, setidaknya menurut penilaian kemanusiaan kita. Tapi oleh Sunan Kalijaga, susunan tahlil ini kok malah dihadiahkan kepada orang mati. Ini apa maksudnya?. Apa iya dengan ini Sang Sunan mencoba menyampaikan pesan Tuhan "janganlah kamu mati selain sebagai seorang mukmin" ? apa betul dengan tahlil ini Sunan Kalijaga mencoba mewanti-wanti orang hidup melalui orang mati? Kalau memang begitu, kenapa harus lewat orang mati? Kenapa ndak beliau sendiri saja langsung? Ohhh……mungkin karena orang mati itu lebih jujur dari orang hidup. Orang hidup, apapun pangkatnya, bisa dan mau berbohong, tapi orang mati sekalipun masih mau, tapi tidak bisa. Dan selain Nabi, orang matilah yang benar-benar ma’shum, karena siapa yang sempat buat kesalahan lagi setelah ia mati?
Ketiga. Sekalipun para ulama berbeda pendapat tentang hukum transfer pahala bacaan, tapi mereka sepakat bahwa do’a orang yang hidup bisa sampai kepada mayit. Dan biasanya tahlil itu diakhiri dengan do’a. artinya setelah segala perbedaan dan perdebatan, toh kita masih bisa atau masih punya lahan untuk bersepakat. Atau setidaknya kita bisa bersepakat dalam ketidaksepakatan.
Keempat. Kenapa rangkaian ini dinamakan tahlil, bukan tahmid atau tasbih? Mungkin karena tahlil itu adalah pusat, pusar galaksi ketuhanan, juga jantung kemanusiaan. Kalau kita mengakui bahwa Tuhan kita Cuma satu, maka kita juga harus mengakui bahwa semua manusia, semua hewan, semua tumbuhan, semua jejadian di seluruh semesta ini adalah juga cipratan cahaya dari cermin ketuhanan. Maka kita juga harus memperlakukan mereka sama seperti kita memperlakukan diri kita sendiri, atau orang yang segolongan dengan kita. Itu artinya kita tidak boleh memilih-milih dalam hal mentahlili orang. Kyai harus kita tahlili, tapi perampok juga wajib kita tahlili. Kita harus mentahlili santri, tapi kita juga harus mentahlili pelacur. Sebagaimana orang NU sunnah mentahlili orang Muhammadiyah, dan orang Muhammadiyah pun silahkan kalau mau mentahlili orang NU.
Akhirnya, saya pun sudah agak tenang ketika nanti ada orang menggugat saya, "kok kamu gak batal bersentuhan dengan isterimu? Kan itu bukan madzhab Syafii, padahal tadi pagi kamu masih qunut? Atau kenapa kamu kawin dengan orang muhammadiyah? Kan moyangmu masih keturunan orang NU? ". Saya akan jawab, "ah …. Saya kan hanya taklid kepada panjenengane sunan Kalijaga"…………
Tulisan dari seorang yang aku kagumu tapi tak pernah ku kenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar